Habib Mundzir Al-Musawa Saat Jumpa Habib Umar bin Hafidz - Kisah ini bermula saat perjumpaan al-Habib Mundzir bin Fuadz al-Musawa pertama kalinya dengan sang Guru Mulia al-Habib Umar bin Hafidz. Berikut ini adalah penuturan langsung al-habib Mundzir bin Fuad al-Musawa:
“Kebahagiaan dan kesejukan rahmatNya semoga selalu menaungi hari-hari Anda, Saudaraku yang kumuliakan. Saya adalah seorang anak yang sangat dimanja oleh ayah saya. Ayah saya selalu memanjakan saya lebih dari anaknya yang lain. Namun di masa baligh justru saya yang putus sekolah. Semua kakak saya wisuda, ayah bunda saya bangga pada mereka dan kecewa pada saya karena saya malas sekolah. Saya lebih senang hadir Majelis Maulid al-Marhum al-Arif Billah al-Habib Umar bin Hud Alattas dan Majelis Taklim Kamis sore di Empang Bogor, masa itu yang mengajar adalah al-Marhum al-Allamah al-Habib Husein bin Abdullah bin Muhsin Alattas dengan kajian kitab Fathul Baari.
Sisa hari hari saya adalah bershalawat 1000 siang 1000 malam, dzikir beribu kali, dan puasa Nabi Daud As, dan shalat malam berjam-jam. Saya pengangguran, dan sangat membuat ayah bunda malu.
Ayah saya 10 tahun belajar dan tinggal di Makkah, guru beliau adalah al-Marhum al-Allamah al-Habib Alwi al-Malikiy, ayah dari al-Marhum al-Allamah as-Sayyid Muhammad bin Alwi al-Malikiy. Ayah saya juga sekolah di Amerika Serikat, dan mengambil gelar sarjana di New york University.
Almarhum ayah sangat malu, beliau mumpuni dalam bidang agama dan mumpuni dalam kesuksesan dunia. Beliau berkata pada saya: “Kau ini mau jadi apa?, jika mau agama maka belajarlah dan tuntutlah ilmu sampai ke luar negeri, jika ingin mendalami ilmu dunia maka tuntutlah sampai ke luar negeri, namun saranku tuntutlah ilmu agama, aku sudah mendalami keduanya, dan aku tak menemukan keberuntungan apa-apa dari kebanggaan orang yang sangat menyanjung negeri Barat, walau aku sudah lulusan New York University, tetap aku tidak bisa sukses di dunia kecuali dengan kelicikan, saling sikut dalam kerakusan jabatan, dan aku menghindari itu.”
Maka ayahanda al-Marhum hidup dalam kesederhanaan di Cipanas, Cianjur, Puncak, Jawa barat. Beliau lebih senang menyendiri dari Ibukota, membesarkan anak-anaknya, mengajari anak-anaknya mengaji, ratiban, dan shalat berjamaah.
Namun saya sangat mengecewakan ayah bunda karena boleh dikatakan, dunia tidak akhiratpun tidak. Namun saya sangat mencintai Rasul Saw., menangis merindukan Rasul Saw., dan sering dikunjungi Rasul Saw. dalam mimpi. Rasul Saw. selalu menghibur saya jika saya sedih.
Suatu waktu saya mimpi bersimpuh dan memeluk lutut beliau Saw., dan berkata: “Wahai Rasulullah Saw. aku rindu padamu, jangan tinggalkan aku lagi, butakan mataku ini asal bisa jumpa denganmu, ataukan matikan aku sekarang, aku tersiksa di dunia ini.”
Rasul Saw, menepuk bahu saya dan berkata: “Mundzir, tenanglah. Sebelum usiamu mencapai 40 tahun kau sudah jumpa denganku.” Maka saya terbangun.
Akhirnya karena ayah pensiun, maka ibunda membangun losmen kecil di depan rumah berupa 5 kamar saja dan disewakan pada orang yang baik-baik untuk biaya nafkah, dan saya adalah pelayan losmen ibunda saya.
Setiap malam saya jarang tidur, duduk termenung di kursi penerimaan tamu yang cuma meja kecil dan kursi kecil mirip pos satpam, sambil menanti tamu, sambil tafakkur, merenung, melamun, berdzikir, menangis dan shalat malam. Demikian malam-malam saya lewati, Siang hari saya puasa Nabi Daud As., dan terus dilanda sakit asma yang parah, maka itu semakin membuat ayah bunda kecewa. Berkata ibunda saya: “Kalau kata orang, jika banyak anak, mesti ada satu yang gagal, ibu tak mau percaya pada ucapan itu, tapi apakah ucapan itu kebenaran?”.
Saya terus menjadi pelayan di losmen itu, menerima tamu, memasang seprei, menyapu kamar, membersihkan toilet, membawakan makanan dan minuman pesanan tamu, berupa teh, kopi, air putih, atau nasi goreng buatan ibunda jika dipesan tamu.
Sampai semua kakak saya lulus sarjana, saya kemudian tergugah untuk mondok, maka saya pesantren di al-Habib Umar bin Abdurrahman Assegaf di Bukit Duri Jakarta Selatan, namun hanya dua bulan saja. Saya tidak betah dan sakit-sakitan karena asma terus kambuh, maka saya pulang.
Ayah makin malu, bunda makin sedih, lalu saya prifat saja kursus bahasa Arab di kursus bahasa Arab Assalafi, pimpinan al-Marhum al-Habib Bagir Alattas, ayahanda al-habib Hud Alattas yang kini sering hadir di Majelis kita di al-Munawar.
Saya harus pulang pergi Jakarta-Cipanas yang saat itu ditempuh dalam 2-3 jam, dengan ongkos sendiri. Demikian setiap dua kali seminggu, ongkos itu ya dari losmen tersebut. Saya selalu hadir Maulid di al-Marhum al-Arif Billah al-Habib Umar bin Hud Alattas yang saat itu di Cipayung. Jika tak ada ongkos maka saya numpang truk dan sering hujan-hujanan pula. Sering saya datang ke Maulid beliau malam Jumat dalam keadaan basah kuyup, dan saya diusir oleh pembantu di rumah beliau, karena karpet tebal dan mahal itu sangat bersih, tak pantas saya yang kotor dan basah menginjaknya. Saya terpaksa berdiri saja berteduh di bawah pohon sampai hujan berhenti dan tamu-tamu berdatangan. Maka saya duduk di luar teras saja karena baju basah dan takut dihardik sang penjaga.
Saya sering pula ziarah ke Luar Batang, makam al-Habib Husein bin Abubakar Alaydrus. Suatu kali saya datang lupa membawa peci, karena datang langsung dari Cipanas. Maka saya berkata dalam hati: “Wahai Allah, aku datang sebagai tamu seorang waliMu, tak beradab jika aku masuk ziarah tanpa peci, tapi uangku pas-pasan dan aku lapar. Kalau aku beli peci maka aku tak makan dan ongkos pulangku kurang.”
Maka saya memutuskan beli peci berwarna hijau, karena itu yang termurah saat itu di emperan penjual peci. saya membelinya dan masuk berziarah sambil membaca Yaasin untuk dihadiahkan pada almarhum. Saya menangisi kehidupan saya yang penuh ketidaktentuan, mengecewakan orang tua, dan selalu lari dari sanak kerabat, karena selalu dicemooh. Mereka berkata: “Kakak-kakakmu semua sukses, ayahmu lulusan Makkah dan pula New York University, kok anaknya centeng losmen.” Maka saya mulai menghindari kerabat, saat lebaranpun saya jarang berani datang, karena akan terus diteror dan dicemooh.
Walhasil dalam tangis itu saya juga berkata dalam hati: “Wahai wali Allah, aku tamumu, aku membeli peci untuk beradab padamu, hamba yang shalih di sisi Allah, pastilah kau dermawan dan memuliakan tamu, aku lapar dan tak cukup ongkos pulang.” Lalu dalam saya merenung, datanglah rombongan teman-teman saya yang pesantren di al-Habib Umar bin Abdurrahman Assegaf dengan satu mobil. Mereka senang jumpa saya, sayapun ditraktir makan, saya langsung teringat ini berkah saya beradab di makam wali Allah. Lalu saya ditanya dengan siapa dan mau ke mana. Saya katakan saya sendiri dan mau pulang ke kerabat ibu saya saja di Pasar Sawo, Kebon Nanas, Jakarta Selatan. Mereka berkata: “Ayo bareng saja, kita antar sampai Kebon Nanas.” Maka sayapun semakin bersyukur pada Allah, karena memang ongkos saya tak akan cukup jika pulang ke Cipanas.
Saya sampai larut malam di kediaman bibi dari Ibu saya, di Pasar Sawo Kebon Nanas. Lalu esoknya saya diberi uang cukup untuk pulang, sayapun pulang ke Cipanas. Tak lama saya berdoa: “Wahai Allah, pertemukan saya dengan guru dari orang yang paling dicintai Rasul Saw.” maka tak lama saya masuk pesantren al-Habib Hamid Nagib bin Syeikh Abubakar di Bekasi timur. Di setiap saat Mahal Qiyam Maulid saya menangis dan berdoa pada Allah untuk rindu pada Rasul Saw., dan dipertemukan dengan guru yang paling dicintai Rasul Saw.
Dalam beberapa bulan saja datanglah Guru Mulia al-Musnid al-Allamah al-Habib Umar bin Hafidz ke pondok itu, kunjungan pertama beliau yaitu pada tahun 1994 M. Selepas beliau menyampaikan ceramah, beliau melirik saya dengan tajam, saya hanya menangis memandangi wajah sejuk itu. Lalu saat beliau sudah naik ke mobil bersama al-Marhum al-Habib Umar Maulakhela, maka Guru Mulia memanggil al-Habib Nagib bin Syeikh Abubakar. Guru Mulia berkata bahwa beliau ingin saya dikirim ke Tarim Hadhramaut Yaman untuk belajar dan menjadi murid beliau. Guru saya al-Habib Nagib bin Syeikh Abubakar mengatakan saya sangat belum siap, belum bisa bahasa Arab, murid baru dan belum tahu apa-apa. Mungkin beliau salah pilih? Maka Guru Mulia menunjuk saya, “Itu anak muda yang pakai peci hijau itu, itu yang saya inginkan.”
Maka Guru saya al-Habib Nagib memanggil saya untuk jumpa beliau. Lalu Guru Mulia bertanya dari dalam mobil yang pintunya masih terbuka: “Siapa namamu?”, dalam bahasa Arab tentunya. Saya tak bisa menjawab karena tak faham. Maka guru saya al-Habib Nagib menjawab: “Kau ditanya siapa namamu,” Maka saya jawab nama saya, lalu Guru Mulia tersenyum.
Keesokan harinya saya jumpa lagi dengan Guru Mulia di kediaman al-Marhum al-habib Bagir Alattas. Saat itu banyak para habaib dan ulama mengajukan anaknya dan muridnya untuk bisa menjadi murid Guru Mulia, maka guru mulia mengangguk-angguk sambil kebingungan menghadapi serbuan mereka. Lalu guru mulia melihat saya di kejauhan, lalu beliau berkata pada al-Marhum al-Habib Umar Maulakhela: “Itu, anak itu jangan lupa dicatat, ia yang pakai peci hijau itu.”
Guru mulia kembali ke Yaman, sayapun langsung ditegur guru saya al-Habib Nagib bin Syekh Abubakar, seraya berkata: “Wahai Mundzir, kau harus siap-siap dan bersungguh-sungguh, kau sudah diminta berangkat, dan kau tak akan berangkat sebelum siap.” Dua bulan kemudian datanglah al-Marhum al-Habib Umar Maulakhela ke pesantren, dan menanyakan saya. Almarhum al-Habib Umar Maulakhela berkata pada al-Habib Nagib: “Mana itu Mundzir anaknya Habib Fuad al-Musawa? Dia harus berangkat Minggu ini, saya ditugasi untuk memberangkatkannya.”
Maka al-habib Nagib berkata bahwa saya belum siap, namun al-Marhum al-Habib Umar Maulakhela dengan tegas menjawab: “Saya tidak mau tahu, namanya sudah tercantum untuk harus berangkat, ini permintaan al-Habib Umar bin Hafidz, ia harus berangkat dalam dua minggu ini bersama rombongan pertama.”
Saya persiapkan pasport dll, namun ayah saya keberatan, ia berkata: “Kau sakit-sakitan, kalau kau ke Mekkah ayah tenang, karena banyak teman di sana, namun ke Hadhramaut itu ayah tak ada kenalan, di sana negeri tandus, bagaimana kalau kau sakit? Siapa yang menjaminmu?"saya pun datang mengadu pada al-Marhum al-Arif Billah al-Habib Umar bin Hud Alattas. Beliau sudah sangat sepuh, dan beliau berkata: “Katakan pada ayahmu, saya yang menjaminmu, berangkatlah."
Saya katakan pada ayah saya, maka ayah saya diam, namun hatinya tetap berat untuk mengizinkan saya berangkat. Saat saya mesti berangkat ke bandara, ayah saya tak mau melihat wajah saya, beliau buang muka dan hanya memberikan tangannya tanpa mau melihat wajah saya, saya kecewa namun saya dengan berat tetap melangkah ke mobil travel yang akan saya naiki. Namun saat saya akan naik, terasa ingin berpaling ke belakang, saya lihat nun jauh di sana ayah saya berdiri di pagar rumah dengan tangis melihat keberangkatan saya. Beliau melambaikan tangan tanda ridho. Rupanya bukan beliau tidak ridho, tapi karena saya sangat disayanginya dan dimanjakannya, beliau berat berpisah dengan saya, saya berangkat dengan air mata sedih.
Saya sampai di Tarim, Hadhramaut, Yaman di kediaman Guru Mulia. Beliau mengabsen nama kami. Ketika sampai ke nama saya dan beliau memandang saya dan tersenyum indah.
Tak lama kemudian terjadilah perang Yaman Utara dan Yaman Selatan. Kami di Yaman Selatan, pasokan makanan berkurang, makanan sulit, listrik mati, kamipun harus berjalan kaki ke mana-mana menempuh jalan 3-4 km untuk taklim karena biasanya dengan mobil milik Guru Mulia namun di masa perang pasokan bensin sangat minim.
Suatu hari saya dilirik oleh Guru Mulia dan berkata: “Namamu Mundzir (mundzir = pemberi peringatan)”, saya mengangguk. Lalu beliau berkata lagi: “Kau akan memberi peringatan pada jamaahmu kelak.”
Maka saya tercenung dan terngiang-ngiang ucapan beliau: “Kau akan memberi peringatan pada jamaahmu kelak”, saya akan punya jamaah? Saya miskin begini bahkan untuk mencuci bajupun tak punya uang untuk beli sabun cuci.
Saya mau mencucikan baju teman saya dengan upah agar saya kebagian sabun cucinya, malah saya dihardik: “Cucianmu tidak bersih, orang lain saja yg mencuci baju ini.” Maka saya terpaksa mencuci dari air bekas mengalirnya bekas mereka mencuci, air sabun cuci yang mengalir itulah yang saya pakai mencuci baju saya.
Hari demi hari Guru Mulia makin sibuk, maka saya mulai berkhidmat pada beliau, dan lebih memilih membantu segala permasalahan santri, makanan mereka, minuman, tempat menginap dan segala masalah rumah tangga santri. Saya tinggalkan pelajaran demi bakti pada Guru Mulia membantu beliau, dengan itu saya lebih sering jumpa beliau.
Dua tahun di Yaman ayah saya sakit, dan telepon, beliau berkata: “Kapan kau pulang wahai anakku? aku rindu.”
Saya jawab: “Dua tahun lagi insya Allah ayah.”
Ayah menjawab dengan sedih di telepon: “Duh masih lama sekali,” telepon ditutup, 3 hari kemudian ayah saya wafat.
Saya menangis sedih, sungguh kalau saya tahu bahwa saat saya pamitan itu adalah terakhir kali jumpa dengan beliau, dan beliau buang muka saat saya mencium tangan beliau, namun beliau rupanya masih mengikuti saya, keluar dari kamar, keluar dari rumah, dan berdiri di pintu pagar halaman rumah sambil melambaikan tangan sambil mengalirkan air mata. Duhai kalau saya tahu itulah terakhir kali saya melihat beliau rahimahullah.
Tak lama saya kembali ke Indonesia, tepatnya pada tahun 1998, mulai dakwah sendiri di Cipanas, namun kurang berkembang. Maka saya mulai dakwah di Jakarta, saya tinggal dan menginap berpindah pindah dari rumah ke rumah murid sekaligus teman saya. Majelis malam Selasa saat itu masih berpindah-pindah dari rumah ke rumah. Mereka murid-murid yang lebih tua dari saya, dan mereka kebanyakan dari kalangan awam, maka walau saya sudah duduk untuk mengajar, mereka belum datang, saya menanti.
Setibanya mereka yang cuma belasan saja, mereka berkata: “Nyantai dulu ya bib, ngerokok dulu ya, ngopi dulu ya”, saya terpaksa menanti sampai mereka puas, baru mulai Maulid Dhiyaullami’, Jamaah makin banyak, mulai tak cukup di rumah-rumah, maka pindah-pindah dari musholla ke musholla. Jamaah makin banyak, maka tak cukup pula musholla, mulai berpindah-pindah dari masjid ke masjid.
Lalu saya membuka majelis di hari lainnya, dan malam Selasa mulai ditetapkan di masjid Almunawar, saat itu baru seperempat masjid saja, saya berkata: “Jamaah akan semakin banyak, nanti akan setengah masjid ini, lalu akan memenuhi masjid ini, lalu akan sampai keluar masjid insya Allah,” jamaah mengaminkan. Mulailah dibutuhkan kop surat, untuk undangan dan lain sebagainya. Maka majelis belum diberi nama, dan saya merasa majelis dan dakwah tak butuh nama, mereka sarankan Majelis Habib Mundzir saja, saya menolak, ya sudah, Majelis Rasulullah Saw saja.
kini jamaah Majelis Rasulullah sudah jutaan, di Jabodetabek, Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Mataram, Kalimantan, Sulawesi, Papua, Singapura, Malaysia, bahkan sampai ke Jepang, dan salah satunya kemarin hadir di Majelis Haul Badr kita di Monas, yaitu Profesor dari Jepang yang menjadi dosen di sana. Dia datang ke Indonesia dan mempelajari bidang sosial, namun kedatangannya juga karena sangat ingin jumpa dengan saya, karena ia pengunjung setia web ini, khususnya yang versi english.
Sungguh agung anugerah Allah Swt. pada orang yang mencintai Rasulullah Saw, yang merindukan Rasulullah Saw. itulah awal mula hamba pendosa ini sampai Majelis ini demikian besar, usia saya kini 38 tahun jika dengan perhitungan hijriah, dan 37 tahun jika dengan perhitungan masehi, saya lahir pada Jumat pagi 19 Muharram 1393 H, atau 23 Februari 1973 M.
Perjanjian jumpa dengan Rasul Saw. adalah sebelum usia saya tepat 40 tahun, kini sudah 1431 H, mungkin sebelum sempurna 19 Muharram 1433 H saya sudah jumpa dengan Rasul Saw. Namun apakah Allah Swt. akan menambah usia pendosa ini? Wallahu a’lam.
Salam rindu terdalam untuk anda.
Ditulis ulang oleh Sya’roni as-Samfuriy, Indramayu 16 Muharram 1434 H
Sumber: http://biografiulamahabaib.blogspot.com
loading...
0 blogger-facebook: